SEJARAH KEPULAUAN JAWA

Pulau Jawa merupakan salah satu dari berbagai macam pulau yang ada di Indonesia letaknya di kepulauan Sunda Besar dan merupakan pulau terluas ke-13 di dunia. Penduduk di pulau Jawa mencapai 150 juta. Pulau Jawa dihuni oleh 60% total populasi Indonesia. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan sensus penduduk tahun 1905 yang mencapai 80,6% dari seluruh penduduk Indonesia. Penurunan penduduk di Pulau Jawa secara persentase diakibatkan perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke daerah lain di Indonesia. Ibu kota Indonesia adalah Jakarta dan terletak di Jawa bagian barat laut.

pulau jawa
SUMBER : WordPress.com

Jawa merupakan pulau muda dan sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini, dengan dataran endapan aluvial sungai di bagian utara. Pulau Jawa terpisahkan oleh selat dengan beberapa pulau utama, yakni Pulau Sumatra di barat laut, Pulau Kalimantan di utara, Pulau Madura di timur laut, dan Pulau Bali di sebelah timur. Sementara itu di sebelah selatan pulau Jawa terbentang Samudra Hindia.

Pulau Jawa adalah bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, dimana pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki “Si Manusia Jawa”, ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.

Situs Sangiran merupakan situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik yang ditemukan di Pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.

Punden berundak dianggap sebagai struktur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.

Pulau Jawa itu sangatlah subur dengan curah hujan yang tinggi yang memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang Pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar.

Pada masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.

Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di Pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk Pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.

Penduduk Pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 10 juta orang pada tahun 1815. Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat.

Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekrutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah. Pada tahun 1820, terjadi wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.

Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.

Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *